6 dari 10 Perusahaan Bakal Lakukan PHK pada 2026, Ketidakpastian Ekonomi dan AI Jadi Biang Kerok

Ilustrasi Perusahaan
Sumber :
  • pexels.com/Pixabay

Jakarta, VIVA – Ketidakpastian ekonomi global masih menjadi sorotan. Setelah beberapa tahun menghadapi tekanan inflasi, perubahan kebijakan perdagangan, serta lonjakan adopsi teknologi, banyak perusahaan kini lebih berhati-hati dalam mengelola tenaga kerja. 

Program Magang Nasional untuk Fresh Graduate Bakal Diluncurkan 15 Oktober 2025

Kondisi ini membuat strategi efisiensi menjadi prioritas, termasuk melalui pengurangan karyawan atau pembatasan perekrutan.

Sebuah survei terbaru dari platform Resume.org, memberikan gambaran yang cukup mengkhawatirkan bagi pekerja. Sebanyak 58% perusahaan di Amerika Serikat berencana melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 2026. 

AI Masuki Sektor HR, Bagaimana Cara Kerjanya?

Melansir dari CPA, Jumat, 19 September 2025, angka tersebut menunjukkan tren pelemahan di pasar tenaga kerja, meski permintaan akan keterampilan baru, terutama di bidang kecerdasan buatan (AI), terus meningkat.

Alasan Utama PHK: Ekonomi, Tarif, dan AI

Industri Bangunan RI Tembus Pasar Asia, Kini Bidik Bisnis di Vietnam dan Bangladesh

Ilustrasi pengangguran.

Photo :
  • Freepik

Survei terhadap 1.000 pemimpin bisnis AS itu mengungkap bahwa 55% perusahaan menyebut ketidakpastian ekonomi sebagai pendorong utama PHK tahun ini. Selain itu, 39% menyoroti kekhawatiran terhadap kebijakan tarif dan perdagangan, sementara 35% menyebut adopsi AI sebagai faktor yang mengurangi kebutuhan tenaga kerja manusia.

Pada 2026, potensi PHK diperkirakan makin tinggi. Dari total perusahaan yang disurvei, 26% menilai PHK sangat mungkin terjadi, dan 32% menyebut kemungkinan tersebut cukup besar. Penyebabnya masih didominasi oleh kekhawatiran atas tarif dan perdagangan (48%) serta kondisi ekonomi global (47%).

Tren Perekrutan yang Melambat

Tak hanya soal PHK, laju perekrutan juga menunjukkan perlambatan. Survei mencatat 9% perusahaan telah memberlakukan pembekuan perekrutan, sementara 41% mengurangi jumlah perekrutan baru. Hanya 9% perusahaan yang menambah tenaga kerja sepanjang tahun ini.

Bagi perusahaan yang menahan ekspansi tenaga kerja, 63% menyalahkan kondisi ekonomi, 38% karena kebijakan tarif dan perdagangan, 35% akibat penurunan pendapatan, dan 22% menyebut adopsi AI mengurangi kebutuhan staf.

Siapa yang Paling Berisiko Kehilangan Pekerjaan?

Survei juga menyoroti kelompok pekerja yang paling rentan terkena PHK. 48% pemimpin bisnis mengatakan pekerja dengan gaji tinggi paling mungkin terdampak, disusul 46% pekerja yang tidak memiliki keterampilan terkait AI, 42% pekerja baru, dan 41% karyawan level pemula.

Faktor demografis juga berperan: 30% perusahaan menilai pekerja muda lebih rentan, 29% menyebut pekerja senior dianggap kurang adaptif, dan 19% menilai pemegang visa kerja H1B berisiko karena biaya administrasi tambahan.

“Peran dengan gaji tinggi sering kali menjadi target pertama karena perusahaan melihat penghematan langsung dalam biaya gaji. Karyawan yang tidak memiliki keterampilan terkait AI juga rentan karena organisasi mempercepat otomatisasi," kata Kara Dennison, Kepala Divisi Career Advising di Resume.org.

Ia mengatakan, pekerja baru dan level pemula berisiko terkena PHK karena mereka belum memiliki pengetahuan mendalam atau nilai jangka panjang. "Faktor demografis turut memengaruhi, di mana pekerja muda bisa dianggap mudah digantikan, pekerja senior dianggap kurang adaptif, dan pemegang visa membawa biaya tambahan,” jelasnya.

AI Jadi Faktor Pengubah Terbesar

Adopsi kecerdasan buatan semakin nyata dalam struktur tenaga kerja. Pada 2025, 27% perusahaan meningkatkan investasi AI secara signifikan, sementara 41% melaporkan peningkatan moderat. 

Hingga saat ini, 28% perusahaan mengaku sudah menggantikan pekerjaan dengan AI, dan angkanya diprediksi naik menjadi 37% pada akhir 2026.

"Adopsi AI akan mengubah pasar tenaga kerja lebih dramatis dalam 18 hingga 24 bulan ke depan dibanding dekade sebelumnya. Kita akan melihat pergeseran besar pada pekerjaan rutin serta munculnya kategori pekerjaan baru seperti pengawasan AI, etika data, prompt engineering, dan kolaborasi manusia-AI," paparnya.

Keterampilan teknis saja, kata dia, tidaklah cukup. Adaptabilitas, berpikir kritis, dan kecerdasan emosional akan menjadi pembeda utama. Untuk menjaga karier tetap relevan, para profesional perlu membangun keterampilan digital sekaligus keterampilan manusia yang tidak bisa digantikan AI. 

"Bagi perusahaan, penting untuk meningkatkan keahlian tenaga kerja agar siap bekerja bersama AI. Perusahaan yang hanya menjadikan AI sebagai alat pemotongan biaya tanpa berinvestasi pada SDM berisiko kehilangan budaya, kepercayaan, dan daya saing jangka panjang.”

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya