Seni Melawan Korupsi: Mahasiswa LSPR Rilis Film Musikal Bertema Sosial
- ist
VIVA – Industri seni pertunjukan di Indonesia tengah mengalami pertumbuhan yang signifikan. Tahun ini, berbagai komunitas teater baru bermunculan dan panggung-panggung pertunjukan, mulai dari jalanan hingga yang berlisensi resmi, diramaikan oleh karya musikal yang beragam.
Namun di balik geliat positif ini, ada sisi gelap yang menghambat kemajuan: praktik korupsi yang masih menghimpit ruang gerak para seniman untuk berkarya secara bebas dan bermartabat.
Banyak seniman muda yang masih harus berjuang di tengah ketidakpastian akibat praktik korupsi dan rendahnya integritas sejumlah pihak yang seharusnya mendukung pertumbuhan seni. Meskipun memiliki dampak langsung terhadap keberlangsungan ruang kreatif, isu ini masih jarang mendapat sorotan publik.
Ketua Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nawawi Pomolango, dalam pernyataannya pada 1 Juli 2024, mengungkapkan bahwa selama lima bulan pertama tahun ini, KPK telah menangani 93 kasus tindak pidana korupsi dengan 100 tersangka. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mencatat bahwa sedikitnya 138 peserta Pilkada 2024 diduga terlibat dalam kasus korupsi. Sayangnya, industri seni pertunjukan sebagai bagian penting dari ekosistem ekonomi kreatif belum banyak dilibatkan dalam diskursus antikorupsi tersebut.
Menanggapi kondisi tersebut, mahasiswa Program Studi Performing Arts Communication dari LSPR Institute of Communication and Business menyuarakan keresahan mereka melalui karya seni. Mereka menghadirkan sebuah film pendek musikal berjudul “Karya Untuk Negeri”, produksi dari Waka Waka Production, sebagai bagian dari tugas akhir mereka.
Film berdurasi 45 menit ini melibatkan 20 pemeran dan 60 kru profesional lintas disiplin. Tayang perdana di CGV Central Park Jakarta pada 3 Juli 2025, acara ini disaksikan oleh 300 tamu undangan. “Karya Untuk Negeri” mengisahkan perjuangan Diandra, seorang seniman muda idealis, yang ingin menggelar pertunjukan teater bersama anak-anak dari rumah singgah. Namun, jalan yang ditempuh tidak mudah: Diandra harus menghadapi birokrasi korup dan dilema moral yang memengaruhi idealisme serta relasinya, terutama saat kekasihnya, Adrian – seorang jurnalis – menyarankan untuk "menyesuaikan diri" dengan sistem agar pertunjukan tetap dapat berjalan.
Amelia Angeliqa Hadinata, penulis sekaligus sutradara Karya Untuk Negeri, menjelaskan bahwa pembuatan film ini merupakan hasil kolaborasi yang sarat perjuangan. Lebih dari sekadar kritik sosial, film ini menjadi medium kolaboratif yang inklusif. Waka Waka Production menggandeng anak-anak dari Taman Anak Pesisir – komunitas belajar dan seni di wilayah Kalibaru, Cilincing – Jakarta Utara, yang selama ini aktif tampil di teater jalanan di bawah bimbingan Aceng Gimbal, pendiri Yayasan Sanggar Seni Trotoar.
“Bagi kami, karya ini bukan sekadar tugas akhir semata, melainkan bentuk nyata dari cinta kami terhadap seni. Kami sebagai generasi muda tidak ingin hanya diam, kami ingin industri kreatif di Indonesia bertumbuh, diberi ruang, dan dihargai. Kami ingin para seniman muda bisa punya kesempatan untuk bersinar,” ujar Amelia.
Dosen pembimbing, Mikhael Yulius Cobis, turut memberikan apresiasi atas dedikasi para mahasiswa dalam mewujudkan proyek ini. Ia menilai bahwa karya tersebut lahir dari proses panjang, tidak hanya dari sisi artistik, tetapi juga menunjukkan kedewasaan berpikir, semangat kolaborasi, dan keberanian menyuarakan gagasan.
“Selama proses pendampingan, saya menyaksikan berbagai dinamika — mulai dari tantangan teknis, konflik ide, hingga pencarian bentuk artistik yang paling sesuai dengan nilai yang ingin mereka sampaikan. Namun semua itu dihadapi dengan refleksi dan tekad yang kuat. Saya berharap karya ini tidak hanya menjadi capaian akademik, tetapi juga menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk terus berkarya dan memperjuangkan ruang kreatif yang inklusif serta berkelanjutan,” ungkap Mikhael.
“Karya Untuk Negeri” bukan hanya tontonan musikal biasa. Film ini adalah pernyataan sosial yang menyoroti realitas pahit di balik industri seni: korupsi, birokrasi yang menyulitkan, dan rendahnya integritas sejumlah pihak. Melalui narasi tokoh Diandra dan Adrian, film ini mengajak penonton untuk bertanya: “Apakah karya harus tunduk pada sistem yang tidak adil?”
