Komplotan Pengoplos Gas LPG Bersubsidi dengan Omzet Rp650 Juta per Bulan Dibongkar Polisi
- Istimewa
Bali, VIVA -- Kasus pengoplosan Liquified Petroleum Gas (LPG) di Kutri Gianyar, Bali, dibongkar Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Empat orang berinisial GC, BK, MS, dan KS ditetapkan jadi tersangka dalam kasus ini. Diketahui kegiatan pengoplosan ini memiliki omzet mencapai Rp650 juta per bulan. Hal itu diungkapkan Direktur Tipidter Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Polisi Nunung Syaifudin.
“Untuk keempat tersangka memiliki peran masing-masing dalam pengoplosan gas LPG tersebut,” kata dia, Selasa, 11 Maret 2025.
Dalam kasus ini, penyidik menyita barang bukti berupa 1.616 tabung gas LPG 3 kilogram bersubsidi, sekitar 900 tabung gas LPG nonsubsidi, enam unit mobil truk dan pick up, serta peralatan lainnya yang digunakan sebagai alat untuk mengoplos.
Ilustrasi gas melon alias tabung gas Elpiji 3 Kg.
- VIVA/M Ali Wafa
“Sedangkan para saksi kita lakukan pemeriksaan 12 orang termasuk para tersangka, pemilik lahan/gudang, para kuli angkut, termasuk Kepala desa Singapadu Tengah di mana lokasi yang digunakan pengoplosan gas subsidi tersebut,” kata dia.
Dia mengungkapkan, pengoplosan dimulai dari tersangka GC selaku pemilik membeli LPG tabung gas 3 kg subsidi yang masih berisi. Lalu, dioplos oleh tersangka BK dan MS ke tabung gas LPG nonsubsidi 12 kg dan 50 kg yang masih kosong.
Kemudian, tersangka KS sebagai sopir dump truck atau pick up mengirim ke pelanggan. Bisnis itu telah dilakukan tersangka 26 hari kerja per bulan dengan omzet mencapai 25 juta per hari.
“Para tersangka sudah melakukan bisnis haram tersebut selama 4 bulan terakhir dan meraup keuntungan dari penyalahgunaan tabung LPG 3 kg bersubsidi kurang lebih sebesar Rp3.375.840.000,” kata dia.
Para tersangka dikenakan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sebagaimana telah diubah dengan Pasal 40 angka 9 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atas perubahan ketentuan dengan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000.
“Polri berkomitmen terus melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan barang-barang subsidi oleh pemerintah karena tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga berdampak luas pada kesejahteraan masyarakat dan kelangsungan subsidi yang seharusnya tepat sasaran,” katanya.