Soroti Bahaya Scan Iris Mata, DPR: Warga Negara Kita jadi Kelinci Percobaan, Regulasi Belum Siap
- Istimewa
Jakarta, VIVA - DPR melalui Komisi I DPR menyoroti maraknya praktik scan pemindaian biometrik iris mata warga Indonesia oleh proyek Worldcoin/World ID yang dijalankan entitas asing. Praktik ini dininilai sebagai jebakan kolonialisme data gaya baru.
Demikian disampaikan Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PAN, Farah Puteri Nahlia. Ia menyinggung dengan imbalan tunai Rp250 ribu hingga Rp800 ribu, warga rela menyerahkan data pribadi yang sangat sensitif demi barter digital. Padahal, scan iris mata disebutnya bisa menyeret bangsa RI ke dalam jebakan kolonialisme data gaya baru.
Farah mengatakan warga RI seperti dijadikan kelinci percobaan dalam teknologi global. “Ini bukan sekadar soal insentif. Ini eksploitasi. Dengan kedok inklusi digital, warga negara kita dijadikan kelinci percobaan teknologi global, tanpa perlindungan hukum yang memadai,” kata Farah, dalam keterangannya, Rabu, 7 Mei 2025.
Farah bilang proyek World ID saat ini dijalankan oleh Tools for Humanity, perusahaan berbasis di San Francisco dan Berlin, melalui mitra lokal di Indonesia. Menggunakan alat pemindai canggih bernama Orb, proyek ini aktif di 29 lokasi di RI dengan memanen iris mata dan data pribadi lainnya dari masyarakat yang sebagian besar tak menyadari dampak jangka panjang dari praktik tersebut.
Petugas Dispendukcapil Kota Semarang melakukan perekaman iris mata seorang narapidana wanita untuk keperluan pendataan dan pembuatan KTP elektronik, di Lapas Wanita Kelas II A Semarang, Jawa Tengah
- ANTARA FOTO/R. Rekotomo
Dia pun mengutip laporan investigatif MIT Technology Review, bahwa Worldcoin diduga erulang kali menggunakan metode manipulatif di negara-negara berkembang. Selain iris mata, Wordcoin diduga mengumpulkan email, nomor telepon. Lalu, dalam beberapa kasus diduga membayar aparat lokal agar proses berjalan mulus.
"Regulasi kita belum siap. Namun, data warga sudah keburu dikumpulkan. Ini bukan lagi kelalaian, ini pengabaian serius terhadap kedaulatan digital nasional," jelas Farah.
Lebih lanjut, ia juga mengingatkan bahwa data biometrik bukan seperti password yang bisa diubah. Sebab, jika sekali bocor maka dampaknya permanen dan dapat membuka jalan bagi kejahatan siber.
Kata dia, kejahatan siber itu mulai dari pencurian identitas, manipulasi pengenalan wajah, hingga pengintaian massal.
“Kita sedang menghadapi potensi pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk digital, yang pelakunya adalah entitas asing dengan motif ekonomi dan kekuasaan teknologi,” ujar Farah.
Kemudian, ia juga prihati karena warga RI masih banyak yang rendah dalam literasi digital. Kondisi itu yang jadi celah dan justru dimanfaatkan oleh korporasi luar negeri untuk mengambil data vital warga RI dengan imbalan uang kecil. "Itu bukan insentif. Itu harga murah untuk masa depan yang bisa dikendalikan pihak luar," tuturnya.
Pun, Farah merespons positif langkah Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang membekukan sementara izin operasi Worldcoin di Tanah Air serta memanggil operator lokal untuk diperiksa.
"Negara harus hadir. Bukan hanya sebagai regulator, tetapi pelindung utama hak-hak digital warganya," tuturnya.
Kemudian, Farah menuturkan komitmennya untuk terus mengawasi keberadaan proyek teknologi asing yang tidak transparan. Ia juga mendorong penguatan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi agar RI tidak terus-menerus dijadikan ‘lumbung data’ oleh kekuatan global.
“Ini bukan sekadar urusan teknologi. Ini tentang kedaulatan, martabat, dan masa depan bangsa. Jangan biarkan iris mata rakyat dibeli murah, lalu dijual mahal di pasar data global,” kata Farah.