UU BUMN Digugat ke MK karena jadi Payung Hukum Danantara
- VIVA.co.id/Andrew Tito
Jakarta, VIVA – Undang-undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Lokataru Foundation bersama Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam Cabang Jakarta Barat (LKBHMI Jakbar).
LKBHMI Jakbar mengajukan gugatan karena ingin menguji secara formil UU BUMN Nomor 1 tahun 2025.
UU BUMN tahun 2025 itu digugat karena dinilai pembentukannya tidak partisipatif, tertutup, dan mengabaikan prinsip-prinsip dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan UU 13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Khususnya terkait pendirian lembaga baru bernama Danantara.
Direktur Eksekutif Lokataru, Delpedro Marhaen menyatakan bahwa gugatan sengaja dilayangkan untuk menjadi kontrol konstitusional terhadap kebijakan negara yang dinilai cacat secara prosedural dan sarat kepentingan politik.
“Pembentukan Danantara dilakukan secara diam-diam tanpa proses legislasi yang terbuka dan akuntabel. Hal ini menunjukkan indikasi kuat adanya agenda tersembunyi dari elite politik untuk membentuk lembaga strategis tanpa pengawasan publik yang memadai,” ujar Delpedro dalam keterangannya, dikutip Rabu 4 Juni 2025.
Dia menuturkan bahwa jika dalam pembentukannya saja sudah tidak transparan, maka risiko korupsi dalam pengelolaan dana publik yang besar oleh Danantara menjadi sangat tinggi.
Kemudian, Perwakilan LKBHMI Jakbar Yoga Prawira menjelaskan bahwa UU BUMN cacat prosedural. Sebab, tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
“Proses pembahasan tidak memenuhi prinsip partisipasi publik sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Akses terhadap informasi dan dokumen resmi sangat terbatas. Bahkan, kami mengetahui masuknya revisi UU BUMN ke dalam Prolegnas 2025 bukan dari situs resmi DPR, melainkan dari situs pihak ketiga yang tidak terverifikasi. Ini menimbulkan keraguan atas keabsahan proses legislasi tersebut,” ucap Yoga.
Menurutnya, ada berbagai upaya yang telah dilakukan untuk mengakses dokumen penting. Diantaranya, yakni Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), Naskah Akademik, dan Rancangan UU, baik melalui situs DPR RI, Kementerian BUMN, maupun kanal informasi lainnya. Tetapi, justru akses dokumen tersebut tidak tersedia seluruhnya untuk publik.
“Padahal, nilai valuasi total BUMN mencapai Rp16.000 triliun. Dengan besarnya nilai tersebut, semestinya penyusunan UU dilakukan secara terbuka, akuntabel, dan partisipatif,” kata Yoga.
Pun, Kuasa Hukum dari Lokataru dan LKBHMI Jakbar, Haikal Virzuni ikut menegaskan soal permohonan uji formil UU BUMN tersebut. Dia menyebut permohonan uji formil ini didasarkan melalui sejumlah dalil yang menguatkan klaim bahwa pembentukan UU BUMN melanggar prosedur hukum dan prinsip konstitusional.
Adapun dalil pertamanya, menyatakan tidak ada partisipasi publik yang bermakna dalam proses pembentukan undang-undang tersebut. Para pemohon, kata dia, tidak pernah dilibatkan atau diundang untuk memberikan masukan, dan seluruh proses berlangsung tertutup serta tidak transparan.
Dalil kedua menunjukkan proses pembentukan UU BUMN tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Haikal menjelaskan UU BUMN dianggap telah melanggar asas kejelasan tujuan karena tidak ada narasi yang jelas mengenai urgensi pembentukan Danantara.
“Selain itu, Undang-undang ini juga melanggar asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, serta asas kejelasan rumusan, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam implementasinya,” ungkap Haikal.
Dalil ketiga menyoroti Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) tidak dilibatkan dalam proses pembentukan UU BUMN. Padahal, dalam kerangka ketatanegaraan, DPD RI memiliki peran penting dalam memberikan pertimbangan terhadap Rancangan Undang-undang yang berdampak pada daerah.
“Ketidakterlibatan DPD ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap mekanisme legislasi yang seharusnya inklusif dan melibatkan berbagai unsur terkait,” kata Haikal.
Dalil keempat menyoroti Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) yang juga tidak dilibatkan dalam proses pembentukan Undang-undang tersebut. Padahal, terang Haikal, lembaga yang dibentuk yakni Danantara akan mengelola dana publik dalam jumlah besar.
Dalil kelima menyatakan UU BUMN tidak memiliki validitas atau legitimasi hukum karena menyimpangi ketentuan dalam UUD 1945.
“Oleh karena itu, UU BUMN ini dinilai tidak layak diberlakukan dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” imbuhnya.
Berdasarkan sejumlah argumen tersebut, para pemohon dalam permohonan provisi meminta kepada MK untuk menunda pelaksanaan UU BUMN hingga terdapat putusan akhir terhadap pokok perkara. Penundaan tersebut dimaksudkan agar tak terjadi kerugian konstitusional yang lebih besar akibat diterapkannya Undang-undang yang legalitasnya masih disengketakan.
“Dalam pokok perkara, para pemohon meminta MK menyatakan bahwa UU BUMN bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” ujar Haikal.