2 Terdakwa Kasus Korupsi Shelter Tsunami NTB Divonis 6 Tahun dan 7 Tahun 6 Bulan Penjara, KPK Bilang Begini
- VIVA.co.id/Zendy Pradana
Jakarta, VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) buka suara usai dua terdakwa kasus dugaan korupsi pembangunan tempat evakuasi sementara (TES) atau shelter tsunami di Nusa Tenggara Barat (NTB) dijatuhi vonis atau putusan 6 tahun dan 7 tahun 6 bulan penjara.
"KPK menyampaikan apresiasi atas putusan majelis hakim, dimana putusan tersebut tepat sesuai dengan tuntutan yang disampaikan JPU KPK," ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Rabu, 4 Juni 2025.
Budi menjelaskan bahwa dalam kasus dugaan rasuah shelter tsunami di NTB telah merugikan negara sebanyak Rp18 miliar. "Dimana bangunan tes/shelter tersebut mangkrak dan tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya," ujar Budi.
Jubir KPK Budi Prasetyo
- VIVA.co.id/Zendy Pradana
Diketahui, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, menjatuhkan vonis pidana kepada dua orang terdakwa korupsi pembangunan shelter tsunami di Lombok Utara sesuai tuntutan jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sidang vonis digelar pada Rabu, 4 Juni 2025.
"Mengadili dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa satu Aprialely Nirmala dengan hukuman enam tahun penjara," ujar Ketua Majelis Hakim Isrin Surya Kurniasih saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram, dikutip dari Antara.
Terhadap pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek tahun 2014 dari Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi NTB pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) RI tersebut, hakim juga menjatuhkan pidana denda Rp300 juta.
Untuk subsider atau kurungan pengganti dari denda apabila tidak dibayarkan sesuai ketentuan yang berlaku, hakim menetapkan lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni dari 6 bulan menjadi 4 bulan.
Selanjutnya, untuk terdakwa dua Agus Herijanto yang berperan sebagai kepala pelaksana proyek dari PT Waskita Karya, hakim menjatuhkan pidana sesuai tuntutan jaksa, yakni pidana hukuman 7 tahun 6 bulan penjara dengan denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan, serta membebankan uang pengganti Rp1,3 miliar subsider 2 tahun.
Sesuai tuntutan jaksa, hakim sependapat dengan menyatakan bahwa kedua terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama hingga mengakibatkan bangunan senilai Rp20,9 miliar itu tidak memenuhi azas pemanfaatan.
Akibat dari perbuatan kedua terdakwa, hakim menyatakan sependapat dengan hasil audit BPKP RI bahwa kerugian negara dalam perkara ini senilai Rp18,46 miliar atau sebanding dengan nilai total kerugian dari pengerjaan proyek tersebut.
Aprialely sebagai PPK pelaksana proyek juga dinyatakan telah memperkaya terdakwa dua Agus Herijanto sebagai kepala pelaksana proyek dengan nilai Rp1,3 miliar. Nilai tersebut muncul dari penggunaan anggaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam laporan akhir pekerjaan.
Dari uraian putusan tersebut, hakim menyatakan perbuatan Aprialely Nirmala bersama Agus Herijanto terbukti melanggar dakwaan alternatif pertama penuntut umum, yakni Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.