Trump Bakal Terapkan Tarif Timbal Balik 2 April 2025, Ekonom Ungkap Dampaknya ke RI
- Agence France-Presse (AFP)
Jakarta, VIVA – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump akan menerapkan tarif resiprokal atau timbal balik terhadap India dan China pada 2 April 2025. Trump mengatakan, negara-negara seperti Uni Eropa, China, Brasil, dan India mengenakan tarif yang jauh lebih tinggi kepada AS daripada yang dikenakan AS kepada mereka. Trump menyebut situasi ini tidak adil.
“India membebankan tarif 100 persen kepada kami, sistem ini tidak adil bagi AS, tidak pernah adil. Pada tanggal 2 April, tarif resiprokal mulai berlaku. Berapapun mereka mengenakan pajak kepada kami, kami akan mengenakan pajak kepada mereka. Jika mereka menggunakan tarif non-moneter untuk menjauhkan kita dari pasar mereka, maka kita akan menggunakan hambatan non-moneter untuk menjauhkan mereka dari pasar kita,” kata Trump dikutip melalui Financial Express Rabu, 5 Maret 2025.
Merespons hal ini, Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang mengatakan, kebijakan tarif ini akan berdampak ke sektor otomotif, pertanian, logam, dan manufaktur. Dia menilai tarif timbal balik ini juga akan berdampak ke Indonesia.
"Sebagai eksportir utama tembaga dan kayu ke AS, Indonesia perlu mengantisipasi perubahan kebijakan ini," ujar Hosianna dalam keterangannya, Rabu, 5 Maret 2025.
Ilustrasi Ekspor-Impor
- VIVA/M Ali Wafa
Hosianna menjelaskan, dalam jangka pendek disrupsi ekspor berpotensi mempengaruhi industri tambang dan kehutanan, hingga menyebabkan volatilitas nilai tukar seiring dengan ketidakpastian perdagangan global.
Untuk jangka menengah, diversifikasi pasar ekspor menjadi strategi utama untuk mengurangi ketergantungan pada AS. Menurutnya, hilirisasi industri semakin didorong untuk meningkatkan nilai tambah sebelum ekspor.
Sedangkan jangka panjang, Indonesia memiliki peluang investasi asing di sektor pengolahan bahan mentah semakin terbuka. Kemudian potensi penguatan peran Indonesia dalam rantai pasok global melalui perjanjian dagang dengan mitra baru.
"Di tengah kebijakan proteksionisme AS, Indonesia dapat memanfaatkan tren global dalam diversifikasi rantai nilai atau supply chain diversification. Ketidakpastian perdagangan dan tarif baru mendorong banyak perusahaan global untuk mencari alternatif di luar Tiongkok dan AS, membuka peluang bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya dalam rantai pasok global," jelasnya.
Hosianna menilai, strategi utama yang dapat diperkuat Indonesia, yakni dengan meningkatkan kapasitas manufaktur dan hilirisasi agar produk ekspor memiliki nilai tambah lebih tinggi sebelum masuk pasar AS dan global.
Kemudian mempercepat perjanjian perdagangan dengan mitra strategis guna memperluas akses pasar di luar AS, menarik investasi asing langsung (FDI) di sektor industri pengolahan untuk memperkuat peran Indonesia dalam rantai pasok global.
"Memperluas pasar ekspor ke kawasan lain, termasuk Asia, Eropa, dan Timur Tengah, guna mengurangi risiko ketergantungan pada satu negara tujuan ekspor," imbuhnya.
Kendati kebijakan ini membawa tantangan, Hosianna menyebut bahwa prospek ekspor Indonesia tetap solid. Hal ini berkaca pada periode pertama pemerintahan Trump 2017–2021, ekspor Indonesia ke AS justru tumbuh, terutama untuk produk bernilai tambah seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik.
"Dengan strategi yang tepat, Indonesia berpotensi tidak hanya mempertahankan pangsa pasarnya di AS tetapi juga memperkuat posisinya dalam rantai pasok global yang semakin terfragmentasi," kata Hosianna.