Sisi Gelap Warga Kelas Menengah RI, Gaya Hidup Elit Tapi Dompet Menjerit

Ilustrasi kelas menengah di Indonesia.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Jakarta, VIVA – Kelas menengah di Indonesia sering dipersepsikan sebagai kelompok mapan yang menjadi motor penggerak konsumsi nasional. Mereka tinggal di kota besar, punya pekerjaan tetap, dan bisa menikmati gaya hidup modern. 

Nasib Pekerja Kantoran di Era AI, 5 Karier Ini Bisa Jadi 'Penyelamat'

Namun di balik tampilan tersebut, realitas finansial mereka ternyata tidak seindah yang terlihat di permukaan. Menurut laporan Nielsen Lifestyle Consumer Report, lebih dari separuh pengeluaran kelas menengah dihabiskan untuk konsumsi simbolik.

Konsumsi simbolik ini di antaranya seperti mengganti ponsel terbaru, nongkrong di kafe, belanja fesyen, atau berlibur ke destinasi hits. Gaya hidup mewah ini lebih ditujukan untuk menjaga citra dan status sosial dibanding kebutuhan riil. 

58 Persen Kelas Menengah RI Rentan Jatuh Miskin, Ini 5 Cara Lindungi Keuangan Anda

Fenomena ini dikenal sebagai "fake rich", yaitu terlihat kaya secara sosial, namun kondisi keuangan sesungguhnya justru rentan. Berikut ini beberapa fakta tentang pola konsumsi kelas menengah di Indonesia, seperti dirangkum dari berbagai sumber, Senin, 4 Agustus 2025.

Ilustrasi dompet kosong

Photo :
  • pexels.com
Pantas Kelas Menengah Sulit Kaya! Ini 8 Kebiasaan Sepele Bikin Dompet Tipis

1. Lebih dari 50% Gaji untuk Konsumsi Simbolik

Data Nielsen menunjukkan bahwa sebagian besar pengeluaran kelas menengah Indonesia tidak difokuskan pada kebutuhan pokok atau masa depan seperti tabungan dan investasi. Justru, pengeluaran besar terjadi pada hal-hal yang mencerminkan status sosial, seperti gadget, fesyen bermerek, nongkrong, hingga staycation di hotel.

Alih-alih memperkuat fondasi keuangan jangka panjang, banyak dari mereka terjebak dalam siklus belanja impulsif demi pengakuan sosial.

2. Tabungan dan Investasi Sering Dikesampingkan

Gaya hidup tinggi tidak sebanding dengan kebiasaan menabung. Bahkan menurut berbagai survei, hanya sebagian kecil masyarakat kelas menengah yang memiliki dana darurat setara 3–6 bulan pengeluaran. Investasi juga belum menjadi prioritas, terutama bagi mereka yang berada di rentang penghasilan Rp5–10 juta per bulan.

3. Tampak Sejahtera, Tapi Sering 'Kering' di Akhir Bulan

Fenomena fake rich membuat banyak orang terlihat mapan dari luar, tapi sebenarnya sering kehabisan uang sebelum akhir bulan tiba. Keputusan konsumtif yang berulang menjebak mereka dalam siklus hidup “gali lubang tutup lubang”.

Di sisi lain, kelompok ini justru menjadi penopang konsumsi nasional, meski kondisi keuangannya sendiri tidak sehat.

4. Daya Beli Melemah, Tapi Konsumsi Gengsi Tak Surut

Survei Inventure pada 2024 menunjukkan bahwa 49% kelas menengah melaporkan penurunan daya beli. Namun, pengeluaran untuk gaya hidup tetap tinggi. Artinya, tekanan sosial untuk "tetap terlihat mampu" masih sangat kuat, meskipun kondisi ekonomi pribadi mulai goyah.

5. Tak Sedikit Warga Kelas Menengah yang Rela Utang ke Pinjol

Pada tahun 2023, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah oleh Mandiri Institute menunjukkan bahwa 0,25% rumah tangga pengguna pinjol di Indonesia berasal dari kelompok kelas menengah. Sementara itu, rumah tangga yang termasuk dalam kategori menuju kelas menengah (aspiring middle class) mencatatkan proporsi sebesar 0,21% dari total pengguna pinjaman online alias pinjol.

6. Kelas Menengah RI Rentan Miskin

Laporan Asian Development Bank (ADB) tahun 2020 berjudul "The Rise of Asia's Middle Class" mengungkap bahwa 58% kelas menengah di Indonesia sebenarnya sangat rentan secara ekonomi. Kondisi ini menjadi peringatan serius, bahwa ilusi mapan bisa runtuh hanya dalam satu malam, misalnya karena sakit berat, pemutusan hubungan kerja (PHK), atau gagal membayar cicilan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya