Beda Suara Potongan Komisi Ojol, Pemerintah Diminta Tidak Keluarkan Kebijakan Angka

Aksi Demo Ojek Online
Sumber :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

Jakarta, VIVA – Asosiasi pengemudi ojek online Garda Indonesia, menegaskan kalau pihaknya akan kembali melakukan aksi pada 21 Juli 2025 di depan Istana Merdeka. Ketua Umum Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, mengatakan diantara tuntutan mereka terkait pembagian hasil bagi pengemudi 90 persen dan aplikator 10 persen. 

Mabes TNI: Kami Tidak Hanya Menjaga Kedaulatan Wilayah

Sebelumnya, pengemudi ojol dari Unit Reaksi Cepat atau URC pada Kamis 17 Juli, berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda Monas. Asosiasi ini menaungi lebih dari 10 ribu anggota, menuntut tiga hal kepada pemerintah.

Aksi Demo Ojek Online

Photo :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa
BKSDN Kemendagri Apresiasi Pemprov Jakarta Gunakan Praktik Diagnostik untuk BUMD

“Tiga Tuntutan URC adalah pertama menolak status pengemudi ojol sebagai buruh atau pekerja tetap. Kedua menolak rencana potongan komisi 10 persen bagi pengemudi, dan ketiga mendesak Presiden Prabowo menerbitkan Perppu (peraturan pengganti UU) khusus untuk ojol agar ada payung hukum yang jelas bagi pengemudi,” kata Achsanul Solihin, Jenderal Lapangan URC Bergerak dalam pernyatannya persnya. 

Bagi URC Bergerak, skema potongan komisi 20 persen yang berlaku sekarang masih wajar dan saling menguntungkan. 

Imbas Tarif Trump, FKBI Desak Pemerintah Perketat Perlindungan Data Pribadi Warga RI

Merespons perbedaan suara soal potongan komisi, ekonom senior Wijayanto Samirin, menyebut kalau pemerintah harus paham lebih jauh tentang bisnis model industri transportasi online sebelum mengeluarkan kebijakan. 

“Pemerintah sebaiknya jangan langsung mengeluarkan kebijakan angka, karena ini perlu studi, perlu memahami bisnis modelnya, dan perlu mendengar para pelaku usaha,”  kata Wijayanto.

Aksi Demo Ojek Online

Photo :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

Itu dikatakannya dalam siniar di kanal Youtube Awalil Rizky. Lebih lanjut dijelaskannya, meski pemerintah telah menerapkan aturan potongan komisi 20 persen, tapi praktiknya ada aplikator yang menerapkan komisi 20 persen. Ada juga 10 persen. Kata dia, ini adalah bentuk product differentiation di market (pasar). 

“Aplikator ini kan ada yang pakai komisi 20 persen, ada yang pakai komisi 10 persen ya tetapi masing-masing punya ceruk market sendiri. Jadi kalau diseragamkan tidak optimal bagi industri. Di penerbangan kan gitu, ada yang budget air ada yang reguler lebih mahal tapi kok penuh. Ini murah tapi kok sering kosong. Karena preferential dari konsumen itu berbeda beda. Ada yang menomorsatukan ketepatan waktu, kenyamanan, keamanan. Ada yang menomorsatukan layanan ground handling-nya, track record dengan masalah accident rendah. Let the market decide. Market ini kita berbicara konsumen maupun pelaku biar ketemu. Demand ini ada supplynya. Pemerintah mengawasi saja. Tapi syaratnya para pelaku usaha harus bergerak ke arah yang benar,” papar WIjayanto. 

Wijayanto menegaskan tarif dan komisi merupakan bisnis model dalam industri transportasi online yang memerlukan keleluasaan dari segi aturan. Tapi yang tidak bisa diganggu dan pemerintah perlu turun tangan mengawasi adalah dalam hal menentukan keselamatan konsumen, perlindungan konsumen dan juga perlindungan data.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya