Ekonomi RI Kuartal II-2025 Diproyeksi Tumbuh 4,80%, Ekonom Ungkap Penyebabnya
- vstory
Jakarta, VIVA – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) memproyeksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 akan tumbuh sebesar 4,80 persen secara tahunan alias year-on-year (yoy).
Ekonom LPEM UI, Teuku Riefky menjelaskan, proyeksi itu didasarkan pada pertimbangan atas kondisi perekonomian Indonesia saat ini, dan kemungkinan memburuknya tekanan perekonomian akibat disrupsi perdagangan global. Kedua hal itu dikhawatirkan berpotensi membuat perekonomian Indonesia tumbuh di bawah 5 persen di sisa tahun 2025 ini.
"Oleh sebab itu, PDB Indonesia diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,80 persen (yoy) di kuartal II-2025 kisaran estimasi dari 4,78-4,82 persen, dan 4,75 persen (yoy) untuk full year 2025 dengan kisaran estimasi dari 4,7-4,8 persen," kata Riefky dalam keterangannya, Selasa, 5 Agustus 2025.
Seorang anak keluarga miskin beraktivitas didalam rumahnya di Desa Darussalam, Nisam Antara, Aceh Utara, Aceh. (Ilustrasi)
- Antara/Rahmad
Dia memaparkan, memasuki tahun 2025, perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,87 persen (yoy) di kuartal I-2025, anjlok dari 5,02 persen di kuartal sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi kuartalan Indonesia terakhir menyentuh angka terendahnya dalam 9,5 tahun terakhir (kecuali periode COVID-19), dan kemungkinan mencerminkan kondisi suram yakni menyusutnya potensi pertumbuhan.
Normalnya, Indonesia mencatatkan pertumbuhan PDB kuartalan tertingginya dalam tahun berjalan, pada periode kuartal yang bertepatan dengan periode Ramadhan dan Idul Fitri. "Sayangnya, ekonomi Indonesia tidak dapat mencapai pertumbuhan 5 persen pada kuartal I-2025, mengindikasikan potensi pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah di sisa tahun ini," ujarnya.
Riefky menyebut, menyusutnya kapasitas pertumbuhan ekonomi nasional dipicu oleh beberapa faktor. Berbagai faktor tersebut mencakup penurunan daya beli masyarakat, beralihnya fokus pemerintah dari pemerintahan sebelumnya ke pemerintahan saat ini, ketergantungan yang tinggi terhadap komoditas alam, rendahnya produktivitas, dan iklim usaha yang tidak bersahabat.
Lebih lanjut, terus berkembangnya tensi perang dagang akibat ancaman tarif oleh Presiden Trump berpotensi memperburuk perlambatan ekonomi dalam negeri saat ini. Bantuan sementara melalui subsidi dan insentif tidak dapat menyelesaikan isu struktural yang menghambat produktivitas gregat, seperti iklim investasi yang tidak kondusif dan rendahnya kepastian usaha.
Pembeli antre di Warung Sate Sapi Karangsaru Semarang
- VIVA/Teguh Joko Sutrisno (Semarang)
Lingkungan bisnis yang kondusif merupakan faktor kunci bagi perusahaan untuk tumbuh, meningkatkan produktivitas, dan menciptakan pekerjaan formal berkualitas. Pekerjaan semacam ini tidak hanya menyediakan penghasilan stabil, tetapi juga memfasilitasi akses yang lebih baik ke jaminan sosial dan peningkatan standar hidup.Â
Oleh karena itu, lanjut Riefky, untuk mengatasi masalah penurunan daya beli, menangani masalah struktural korupsi, aktivitas mencari rente, dan segala aktivitas yang dapat berkontribusi pada 'ekonomi berbiaya tinggi' serta menimbulkan ketidakpastian bisnis, merupakan hal yang paling penting dilakukan pemerintah saat ini.
"Pasalnya, tidak ada bentuk subsidi atau insentif yang dapat menggantikan reformasi fundamental ini," ujarnya.