"Tiap Hari 35 Perempuan RI Jadi Korban Kekerasan Seksual"
- VIVA/Muhamad Solihin
VIVA – Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan terkait kasus kekerasan terhadap perempuan yang dipublikasikan di penghujung Oktober 2017, kian membuka mata masyarakat betapa kekerasan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Dalam laporan itu disebutkan bahwa sepanjang 2016, ada 259.150 kasus kekerasan yang didominasi ranah pribadi, yakni Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, Ketua Komnas Perempuan Azriana R. Manalu mengakui angka tahun 2016, lebih tinggi.
Namun, perempuan kelahiran Lhoksuko, 7 Maret 1968 ini meyakinkan tingginya angka itu, seiring semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kekerasan yang menimpanya. "Jadi, bukan berarti kasus tahun lalu lebih banyak dari tahun sebelumnya," kata Azriana, yang kerap dipanggil Kak Nana oleh rekan sejawatnya.
Karena itu, menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan sebagai salah satu mandat dan kewenangan Komnas Perempuan tidak hentinya ia lakukan. Selain mengampanyekan gerakan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Azriana yang pernah berkiprah di LBH Iskandar Muda Lhoksumawe dan LBH Apik Aceh, juga terus mengawal pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di Komisi VIII DPR.
Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi konsentrasinya, mengingat data Komnas Perempuan menunjukkan setiap hari ada 35 perempuan Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual, salah satunya perkosaan. Ini artinya, setiap dua jam terjadi tiga kasus.
Lalu, apa strategi Komnas Perempuan meminimalisir kekerasan terhadap perempuan, dan bagaimana kekecewaannya atas sikap pemerintah terkait RUU PKS yang tidak sejalan. Azriana menyampaikannya dalam wawancara khusus dengan VIVA di sela aktivitasnya yang padat di Hotel Harris, Jakarta, 17 November 2017 lalu. Simak wawancara berikut ini:
Angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat. Padahal, mandat Komnas Perempuan salah satunya menyebarluaskan pemahaman soal bentuk kekerasan terhadap perempuan. Bagaimana strategi Komnas meminimalisir masalah ini?
Yang kami lakukan untuk ini membangun komunikasi dan bekerja sama dengan tokoh-tokoh agama, dengan lembaga-lembaga agama di seluruh Indonesia karena kami tahu soal bagaimana membangun kesetaraan dalam keluarga, membangun sikap saling menghargai itu perannya pendidikan. Dan, dalam hal ini tokoh agama punya kekuatannya sendiri untuk lakukan hal itu. Memang, dengan tokoh agama kita tidak bisa juga tiba-tiba masuk dan langsung kerja sama. Jadi, dipetakan dulu lembaga agama mana yang terbuka, kemudian siapa tokoh yang bisa champion kita di dalam. Kita juga harus siapkan bahan-bahan yang bisa jadi rujukan tokoh-tokoh agama ini, ulama-ulama misalnya. Mereka kuat dalam tafsir, namun mereka sering tidak terlalu terpapar dengan fakta, jadi tidak selalu terhubung dengan realitas.